Rabu, 23 Mei 2012

GASTRITIS


GASTRITIS
Gastritis merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, atau kronik yang masing-masing akan dijelaskan secara terpisah.
1.      GASTROPATI EROSIF AKUT
Gastropati erosif akut adalah penyakit lambung yang sering terjadi. Secara endoskopi dicirikan oleh mukosa yang mengalami hyperemia difus, dengan ulkus dan erosi permukaan yang banyak dan kecil ( catatan : erosi adalah pengelupasan permukaan epitel dengan bagian dalam mukosa tetap utuh ; ulkus mencakup pengelupasan seluruh ketebalan mukosa ). Secara mikroskopis, terdapat cidera dan pengelupasan epitel permukaan dan berbagai nekrosis kelenjar superficial. Perdarahan dapat terjadi pada lamina propria ( gastritis hemoragia akut ). Ulkus dalam yang meluas ke dinding dan menyebabkan perforasi sangat jarang terjadi.Tidak terdapat sel-sel radang dalam jumlah yang banyak.( Istilah sebelumnya – gastritis akut- merupakan istilah yang salah ). Pada fase penyembuhan, regenerasi sel epitel terjadi dengan cepat. Pada beberapa kasus, gambaran regenerasi mendominasi (gastropati reaktif).
1.1  Etiologi dan Patogenesis
Dasar penyebab gastropati erosive akut adalah kerusakan epitel lambung. Banyak factor etiologi telah ditemukan tetapi pada kebanyakan kasus, mekanisme terjadi nya kerusakan tidak diketahui.
a.       Obat-obatan
Obat-obatan merupakan penyebab tersering gastropati erosive akut . Obat anti inflamasi nonsteroid  (NSAID) seperti aspirin, ibuprofen, dan kortikosteroid merupakan penyebab paling potensial. Obat-obatan ini mungkin menghambat sintesis prostaglandin pada mukosa yang menyebabkan mukosa lebih peka terhadap asam.
b.      Bahan Kimia Toksik yang Bekerja di Lumen
Etil alcohol menyebabkan gastropati akut yang paling sering terjadi setelah minum banyak alcohol. Kelainan mukosa pada gastritis peminum alcohol berupa pendarahan pada lamina propria. Refluks cairan empedu dipercaya toksik bagi muksa lambung tetapi refluks ini sering terjadi pada orang normal tanpa menimbulkan perubahan mukosa lambung. Refluks empedu yang parah terjadi setelah gastrektomi parsial dengan pengambilan pylorus, dapat menyebabkan gastropati.
c.       Stres
Berbagai tipe stress dapat menyebabkan gastropati erosive akut. Luka bakar (ulkus curling), infark miokardial, lesi interkranial (ulkus cushing), dan masa pascaoperasi merupakan beberapa keadaan stress yang sering dihubunngkan dengan erosi lambung. Kortikosteroid endogen juga dapat menyebabkan hal ini.
d.      Kemoterapi
Kemoterapi ( pada infus arteri hepatik obat-obatan sitotoksik tertentu) dapat menyebabkan keracunan mukosa secara langsung.
e.       Iskemia
Iskemia mukosa yang mungkin terlibat dengan pathogenesis gastropati erosive dapat disebabkan oleh syok yang mengakibatkan vasokontriksi berat pada sirkulasi splanknik. Hipertensi portal juga dapat mengakibatkan kongesti vena dan kelemahan vascular yang menyebabkan gastropati. Ektasia vascular antral gaster yang disebabkan oleh prolaps mukosa antral juga dapat menyebabkan gastropati akibat kelemahan vascular.

1.2  Gambaran Klinis
Gambaran klinis ringan adalah asimtomatik atau disertai dengan dyspepsia ringan. Nyeri epigastrium, seperti rasa mual dan muntah muncul pada kasus sedang dan parah. Perdarahan lambung akut menyebabkan hematemesis dan melena yang merupakan gejala paling bermakna; gejala ini muncul biasanya pada kasus yang disebabkan oleh obat-obatan, stress, syok, dan kemoterapi arteri hepatica. Perdarahan ini pada beberapa kasus dapat membahayakan jiwa.Terapi ialah dengan menghilangkan factor etiologi, obat-obatan penekan sekresi asam dan pemberian cairan bila perdarahan terjadi.
2.      GASTRITIS KRONIS
Gastritis kronis didefenisikan secara histologist sebagai peningkatan jumlah limfosit dan sel plasma pada mukosa lambung ( Chandrasoma , 1994 ). Gastritis kronis juga didefenisikan sebagai peradangan mukosa kronis yang akhirnya menyebabkan atrofi mukosa dan metaplasia epitel ( Kumar, 1971) .
Derajat paling ringan gastritis kronis adalah gastritis superficial kronis yang mengenai bagian sub epitel disekitar cekungan lambung. Kasus yang lebih parah juga mengenai kelenjar-kelenjar pada mukosa yang lebih dalam; hal ini biasanya berhubungan dengan atrofi kelenjar (gastritis atrofi kronis) dan metaplasia intestinal. Sebagian besar kasus gastritis kronis merupakan salah satu dari dua tipe – tipe A dan tipe B . Terdapat beberapa kasus gastritis kronis yang tidak tergolong dalam kedua tipe tersebut dan penyebabnya tidak diketahui.
Gambaran klinis
Gastritis kronis biasanya tidak atau sedikit menimbulkan gejala;dapat muncul rasa tidak enak pada abdomen atas serta rasa mual dan muntah. Apabila pada gastritis autoimun terjadi banyak kehilangan sel parietal, biasanya hipoklorhidria atau aklorhidria (mengacu pada kadar asam hidroklorida di lumen lambung) dan hipergastrinemia. Pengidap gastritis kronis akibat penyebab lain mungkin mengalami hipoklorhidria, tetapi karena sel parietal tidak hilang sama sekali, para pasien ini tidak mengalami aklorhidria atau anemia pernsiosa.   
Tabel 01 Gastritis kronis. Perbandingan antara tipe A (autoimun) dan tipe B (antral, berhubungan dengan Helicobacter pylori)
Pembeda
Tipe A
Tipe B
Etiologi
Autoimun
Helicobacter pylori
Daerah yang banyak terlibat
Korpus dan fundus
Atrium pilorus
Gambaran endoskopis
Perbedaan tidak jelas
Perbedaan tidak jelas
Sel radang
Limfosit, sel plasma
Limfosit, netrofil, sel plasma
Atrofi mukosa
+
+
Metaplasia intestinal
+
+
Resiko kanker
++
+
Hubungan dengan kanker*
Tinggi
Rendah
Sekresi asam
Menurun atau tidak ada
Normal,meningkat,atau menurun
Gastrin serum
Meningkat
Biasanya normal
Hiperplasia sel endrokin
++
-
Autoantibodi serum
+(>90%)
-
Infeksi Helicobacter pylori
-
+(60-70%)
Hubungan dengan ulkus peptikum
Ulkus tidak ada
Tinggi
Vitamin B12 serum
Rendah
Normal
Anemia megaloblastik
+
-
*meskipun resiko kanker rendah pada tipe B jika dibandingkan dengan tipe A,tingginya insidensi gastritis tipe B pada populasi menyebabkan tipe B lebih sering dihubungkan dengan kanker lambung dibandingkan gastritis kronis tipe A

2.1  Gastritis Kronis Tipe A ( Tipe Autoimun yang Dihubungkan dengan Anemia Pernisiosa )
Anemia pernisiosa disebabkan oleh kegagalan absorbs vitamin B12 karena kekurangan faktor intrinsik akibat gastritis kronis autoimun. Autoimunitas secara langsung menyerang sel parietal pada korpus dan fundus lambung yang menyekresikan faktor intrinsik dan asam. Terdapat beberapa mekanisme autoimun :
1)      Respon yang diperantai sel T menyerang sel parietal, dan
2)      Respon humoral yang berkaitan dengan keberadaan 3(tiga) serum autoantibodi berbeda yang memiliki nilai diagnostik yaitu,
a)      Dalam 90%, antibodi sel anti-parieal (juga disebut antibodi kanalikular parietal);
b)      Dalam 75%, antibodi penghambat faktor intrinsik (mengganggu faktor intrinsic yang membentuk kompeks dengan diet yang mengandung vitamin B13)
c)      Dalam 50%, antibodi pengikat faktor intrinsik (berikatan dengan kompleks faktor intrinsik- vitamin B12)
Antibodi yang melawan faktor intrinsik juga terdapat dalam cairan lambung. Sejumlah kecil penderita anemia pernisiosa kekurangan antibodi tersebut. Anemia pernsiosa juga dihubungkan dengan penyakit autoimun kelenjar tiroid dan adrenal.
      Reaksi autoimun bermanisfestasi sebagai sebukan limfomaplastik pada mukosa sekitar sel parietal, yang secara progresif berkurang jumlahnya. Netrofil jarang dijumpai dan tidak dijumpai H. pylori. Mukosa fundus dan korpus menipis dan kelenjar-kelenjar dikelilingi oleh sel mucus yang mendominasi. Mukosa sering memperlihatkan metaplasia intestinal yang ditandai dengan adanya sel goblet dan sel paneth. Pada stadium akhir, mukosa menjadi atrofi dan sel parietal menghilang ( gastritis kronis tipe A). Target respons imun sudah dihancurkan sehimgga sel imun menjadi berkurang jumlahnya pada stadium ini, yang kadang-kadang disebut sebagai sebagai atrofi gaster sederhana. Akibat-akibat fungsional adalah sebagai berikut :
1)      Kegagalan sekresi asam (akhlorhidria) karena kehilangan sel parietal. Hal ini menyebabkan penigkatan kadar serum gastrin dan menyebabkan hyperplasia sel neuroendokrin pada mukosa lambung. Pada beberapa pasien, dapat tumbuh tumor karsinoid kecil multiple.
2)      Kegagalan absorbs vitamin B12 karena kecacatan sekresi faktor intrinsic atau penghambatan faktor intrinsic yang membentuk kompleks dengan vitamin B12 (antibody penghambat) atau hambatan absorbsi kompleks faktor intrinsic-vitamin B12 (antibody pengikat).
Kegagalan absorbs B12 menyebabkan manifestasi hematologi (anemia megaloblastik) dan neurologi (degenerasi saraf subakut terkombinasi) sebagai manifestasi anemia pernisiosa. Pasien anemia pernisiosa mengalami peningkatan insidensi kejadian karsinoma lambung- contohnya, gastritis kronis autimun tipe A adalah lesi pramaligna.Sel epitel mennjukkan peningkatan derajat dysplasia sebelum muncul kanker. Surveilan endoskopi secara teratur dengan  biopsi  diindikasikan unntuk semua pasien anemia pernisioasa; pengenalan dysplasia derajat tinggi pada biopsy merupakan indikasi untuk reseksi lambung profilaktik.

2.2.         Gastritis Kronis Tipe B ( Gastritis Antrum Kronis; Gastritis Helicobacter pylori)
Gastritis kronis tipe B berhubungan erat dengan H. pylori. Pada 60-70% pasien, didapatkan  H. pylori pada pemeriksaan histologist atau kultur biopsy. Pada banyak pasien yang tidak didapati organisme ini, pemeriksaan serologisnya memperlihatkan antibody terhadap H. pylori yang menunjukkan bahwa sudah ada infeksi H. pylori sebelumnya.
Gastritis kronis tipe B secara maksimal melibatkan bagian antrum, yang merupakan tempat predileksi H. pylori. Kasus-kasus dini memperlihatkan sebukan limfoplasmatik pada mukosa lambung superficial. Infeksi aktif H. pylori hampir selalu berhubungan dengan munculnya netrofil baik pada propria ataupun pada kelenjar mucus atrum. Pada saat lesi berkembang, peradangan meluas yang meliputi mukosa dalam dan korpus lambung. Keterlibatan mukosa bagian dalam menyebakan dekstrusi kelenjar mucus antrum dan metaplasia intestinal (gastritis atrofik kronis tipe B). H. pylori tidak dapat hidup ditengah-tengah epitel usus. Hiperplasia limfoid reaktif (dicirikan oleh folikel reaktif di dalam mukosa) sering dijumpai.
Sebagian besar pasien gastritis kronis tipe B – bahkan gastritis atrofik yang parah- tidak menunjukkan gejala. Rasa nyeri dan sedikit tidak enak pada epigastrum, mual dan anoreksia juga bisa terjadi, terutama pada peradangan aktif. Gambaran endoskopi dapat berupa berkurangnya atau tidak tampaknya lipatan rugae yang normal. Hiperplasia limfoid dapat menyebabkan penebalan rugae dan nodularitas. Sedikit sekali hubungan antara kemunculan gejala, gambaran endoskopi dan histologi gastritis; 30% pasien dengan mukosa lambung normal tampak sebagai gastritis kronis pada pemeriksaan endoskopi.
Pasien gastritis kronis tipe B mengalami peningkatan insidensi kanker lambung. Resiko sangat rendah dan tidak diperlukan pengawasan secara teratur pada semua pasien gastritis kronis tipe B, tetapi insidensi gastritis kronis tipe B begitu tinggi pada populasi sehingga sejumlah besar karsinoma lambung dapat terjadi pada pasien gastritis kronis tipe B, yaitu sebesar >80% insidensi infeksi H. pylori pada penderita karsinoma lambung.

3.      PENYAKIT MENETRIER ( GASTRITIS HIPERTROFIK; HIPERTROFIK RUGAE)
Penyakit menetrier adalah suatu penyakit yang jarang terjadi dan penyebabnya belum diketahui, yang terjadi pada pasien laki-laki berusia diatas 40 tahun. Penyakit ini ditandai dengan penebalan lipatan rugae lambung yang hebat yang tampak baik secara radiologis maupun secara endoskopis. Hiperplasia dan dilatasi kistik kelenjar muskus bersama dengan proliferasi otot polos pada mukosa muskularis, memperlihatkan kemungkinan penyakit ini sebagai lesi hamartoma. Sebagian besar pasien penyakit menetrier mengalami sekresi asam yang berkurang atau normal. Produksi mucus lambung yang berlebih menyebabkan peningkatan kehilangan protein pada usus. Pada gambaran sesungguhnya penyakit ini, enteropati dengan kehilangan protein merupaka gambaran yang selalu ada.
Pembesaran lipatan mukosa lambung juga dapat terjadi pada neoplasma lambung, yaitu pada limfoma maligna dan karsinoma lambung, pada sindrom Zollinger-Ellinson, hipertrofi sel-sel parietal berkaitan dengan hipersekresi asam; dan pada gastroenteritris eosinofilik.





DAFTAR PUATAKA

 Chandrasoma,Parakrama, dkk :1995.Ringkasan Patologi Anatomi, Jakarta:EGC
Kumar,Vinay, dkk: 2004. Buku Ajar Patologi, Jakarta: EGC
Nurchasanah: 2009.Ensiklopedi Kesehatan Wanita, Yogyakarta: Familia
Price, Sylvia A, dkk: 1994. Patofisiologi, Jakarta: EGC



KESEHATAN LINGKUNGAN


BAB II
KESEHATAN LINGKUNGAN DAN PENGENALANNYA DI LOKASI BENCANA

A.     DEFENISI
Ada beberapa definisi dari kesehatan lingkungan :
  1. Menurut WHO (World Health Organization), kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia.1
  2. Menurut HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia) kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia.
B.      RUANG LINGKUP KESEHATAN LINGKUNGAN
Menurut World Health Organization (WHO) ada 17 ruang lingkup kesehatan lingkungan, yaitu :1
    1. Penyediaan Air Minum
    2. Pengelolaan air Buangan dan pengendalian pencemaran
    3. Pembuangan Sampah Padat
    4. Pengendalian Vektor
    5. Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia
    6. Higiene makanan, termasuk higiene susu
    7. Pengendalian pencemaran udara
    8. Pengendalian radiasi
    9. Kesehatan kerja
    10. Pengendalian kebisingan
    11. Perumahan dan pemukiman
    12. Aspek kesling dan transportasi udara
    13. Perencanaan daerah dan perkotaan
    14. Pencegahan kecelakaan
    15. Rekreasi umum dan pariwisata
    16. Tindakan-tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi/wabah, bencana alam dan perpindahan penduduk
    17. Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin lingkungan.
Di Indonesia, ruang lingkup kesehatan lingkungan diterangkan dalam Pasal 22 ayat (3) UU No 23 tahun 1992 ruang lingkup kesling ada 8, yaitu :3
    1. Penyehatan Air dan Udara
    2. Pengamanan Limbah padat/sampah
    3. Pengamanan Limbah cair
    4. Pengamanan limbah gas
    5. Pengamanan radiasi
    6. Pengamanan kebisingan
    7. Pengamanan vektor penyakit
    8. Penyehatan dan pengamanan lainnya, sepeti keadaan pasca bencana

C.     SASARAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Menurut Pasal 22 ayat (2) UU 23/1992, Sasaran dari pelaksanaan kesehatan lingkungan adalah sebagai berikut :3
    1. Tempat umum : hotel, terminal, pasar, pertokoan, dan usaha-usaha yang sejenis
    2. Lingkungan pemukiman : rumah tinggal, asrama/yang sejenis
    3. Lingkungan kerja : perkantoran, kawasan industri/yang sejenis
    4. Angkutan umum : kendaraan darat, laut dan udara yang digunakan untuk umum
    5. Lingkungan lainnya : misalnya yang bersifat khusus seperti lingkungan yang berada dlm keadaan darurat, bencana perpindahan penduduk secara besar2an, reaktor/tempat yang bersifat khusus.

D.     MASALAH-MASALAH KESEHTAN LINGKUNGAN DI INDONESIA
Masalah Kesehatan lingkungan merupakan masalah kompleks yang untuk mengatasinya dibutuhkan integrasi dari berbagai sector terkait. Di Indonesia permasalah dalam kesehatan lingkungan antara lain :2,4


1.       Air Bersih
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
Syarat-syarat Kualitas Air Bersih diantaranya adalah sebagai berikut :
    • Syarat Fisik : Tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna
    • Syarat Kimia : Kadar Besi : maksimum yang diperbolehkan 0,3 mg/l, Kesadahan (maks 500 mg/l)
    • Syarat Mikrobiologis : Koliform tinja/total koliform (maks 0 per 100 ml air)
2.    Pembuangan Kotoran/Tinja
Metode pembuangan tinja yang baik yaitu dengan jamban dengan syarat sebagai berikut :2,5
    • Tanah permukaan tidak boleh terjadi kontaminasi
    • Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin memasuki mata air atau sumur
    • Tidak boleh terkontaminasi air permukaan
    • Tinja tidak boleh terjangkau oleh lalat dan hewan lain
    • Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar ; atau, bila memang benar-benar diperlukan, harus dibatasi seminimal mungkin
    • Jamban harus babas dari bau atau kondisi yang tidak sedap dipandang
    • Metode pembuatan dan pengoperasian harus sederhana dan tidak mahal.
2.       Kesehatan Pemukiman
Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :2,6
    • Memenuhi kebutuhan fisiologis, yaitu : pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu
    • Memenuhi kebutuhan psikologis, yaitu : privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah
    • Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antarpenghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup
    • Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir.
4.    Pembuangan Sampah
Teknik pengelolaan sampah yang baik dan benar harus memperhatikan faktor-faktor /unsur, berikut:6
    • Penimbulan sampah. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sampah adalah jumlah penduduk dan kepadatanya, tingkat aktivitas, pola kehidupan/tk sosial ekonomi, letak geografis, iklim, musim, dan kemajuan teknologi
    • Penyimpanan sampah
    • Pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan kembali
    • Pengangkutan
    • Pembuangan
Dengan mengetahui unsur-unsur pengelolaan sampah, kita dapat mengetahui hubungan dan urgensinya masing-masing unsur tersebut agar kita dapat memecahkan masalah-masalah ini secara efisien.
5.    Serangga dan Binatang Pengganggu
Serangga sebagai reservoir (habitat dan suvival) bibit penyakit yang kemudian disebut sebagai vektor misalnya : pinjal tikus untuk penyakit pes/sampar, Nyamuk Anopheles sp untuk penyakit Malaria, Nyamuk Aedes sp untuk Demam Berdarah Dengue (DBD), Nyamuk Culex sp untuk Penyakit Kaki Gajah/Filariasis. Penanggulangan/pencegahan dari penyakit tersebut diantaranya dengan merancang rumah/tempat pengelolaan makanan dengan rat proff (rapat tikus), Kelambu yang dicelupkan dengan pestisida untuk mencegah gigitan Nyamuk Anopheles sp, Gerakan 3 M (menguras mengubur dan menutup) tempat penampungan air untuk mencegah penyakit DBD, Penggunaan kasa pada lubang angin di rumah atau dengan pestisida untuk mencegah penyakit kaki gajah dan usaha-usaha sanitasi.
Binatang pengganggu yang dapat menularkan penyakit misalnya anjing dapat menularkan penyakit rabies/anjing gila. Kecoa dan lalat dapat menjadi perantara perpindahan bibit penyakit ke makanan sehingga menimbulakan diare. Tikus dapat menyebabkan Leptospirosis dari kencing yang dikeluarkannya yang telah terinfeksi bakteri penyebab.

6.      Makanan dan Minuman
Sasaran higene sanitasi makanan dan minuman adalah restoran, rumah makan, jasa boga dan makanan jajanan (diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/restoran, dan hotel).
Persyaratan hygiene sanitasi makanan dan minuman tempat pengelolaan makanan meliputi :6
    • Persyaratan lokasi dan bangunan
    • Persyaratan fasilitas sanitasi
    • Persyaratan dapur, ruang makan dan gudang makanan
    • Persyaratan bahan makanan dan makanan jadi
    • Persyaratan pengolahan makanan
    • Persyaratan penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi
    • Persyaratan peralatan yang digunakan
    • Pencemaran Lingkungan
Pencemaran lingkungan diantaranya pencemaran air, pencemaran tanah, pencemaran udara. Pencemaran udara dapat dibagi lagi menjadi indoor air pollution dan out door air pollution. Indoor air pollution merupakan problem perumahan/pemukiman serta gedung umum, bis kereta api, dll. Masalah ini lebih berpotensi menjadi masalah kesehatan yang sesungguhnya, mengingat manusia cenderung berada di dalam ruangan ketimbang berada di jalanan. Diduga akibat pembakaran kayu bakar, bahan bakar rumah tangga lainnya merupakan salah satu faktor resiko timbulnya infeksi saluran pernafasan bagi anak balita. Mengenai masalah out door pollution atau pencemaran udara di luar rumah, berbagai analisis data menunjukkan bahwa ada kecenderungan peningkatan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbedaan resiko dampak pencemaran pada beberapa kelompok resiko tinggi penduduk kota dibanding pedesaan. Besar resiko relatif tersebut adalah 12,5 kali lebih besar. Keadaan ini, bagi jenis pencemar yang akumulatif, tentu akan lebih buruk di masa mendatang. Pembakaran hutan untuk dibuat lahan pertanian atau sekedar diambil kayunya ternyata membawa dampak serius, misalnya infeksi saluran pernafasan akut, iritasi pada mata, terganggunya jadual penerbangan, terganggunya ekologi hutan.

E.     MANAJEMEN KESEHATAN LINGKUNGAN DALAM BENCANA

1.      Area Prioritas Intervensi Kesehatan Lingkungan
Kelangsungan dan rehabilitasi yang segera dari layanan kesehatan lingkungan yang efektif merupakan prioritas utama dalam manajemen kesehatan darurat setelah serangan bencana alam. Pertimbangan pertama harus diberikan ke wilayah yang risiko kesehatannya meningkat. Wilayah semacam ini memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan pelayanan yang mengalami kerusakan parah. Area prioritas kedua adalah wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi sementara tingkat kerusakannya menengah, atau wilayah dengan kepadatan menengah dan tingkat kerusakan parah. Prioritas ketiga harus diberikan pada daerah yang kepadatan penduduknya rendah dan tingkat kerusakan layanannya rendah.
Daerah dengan kepadatan penduduk tinggi adalah wilayah kota dan pinggiran kota, kamp untuk pengungsi dan penduduk yang pindah, dan penampungan sementara. Rumah sakit dan klinik kesehatan termasuk di antara fasilitas yang membutuhkan prioritas layanan kesehatan lingkungan.

2.      Layanan Kesehatan Lingkungan Prioritas
Pertimbangan pertama harus diberikan kepada layanan esensial untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan penduduk di daerah yang berisiko tinggi, dengan penekanan pada upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular. Upaya kesehatan lingkungan pascabencana dapat dibagi dalam dua prioritas, yaitu:
    1. Memastikan bahwa terdapat kecukupan jumlah air minum yang aman; kecukupan fasilitas sanitasi dasar; pembuangan ekskreta, limbah cair, dan limbah padat; dan penampungan yang cukup
    2. Melaksanakan upaya perlindungan makanan, membentuk atau melanjutkan upaya pengendalian vektor dan mempromosikan personal hygiene
Berikut tindakan yang direkomendasikan untuk mempercepat pembangunan kembali layanan dan kondisi kesehatan lingkungan:
    1. Peroleh informasi tentang pergerakan penduduk di dalam atau di dekat daerah serangan dan buat lokasi kamp untuk pengungsi dan orang berpindah, daerah yang sebagian dan/atau seluruhnya dievakuasi, penampungan tenaga bantuan, dan RS serta fasilitas medis lain. Informasi ini akan membantu penentuan lokasi yang membutuhkan perhatian utama.
    2. Lakukan pengkajian cepat untuk menentukan tingkat kerusakan sistem persediaan air masyarakat dan SPAL serta produksi, tempat penyimpanan, dan jaringan distribusi makanan
    3. Tentukan kapasitas operasional yang tersisa untuk melaksanakan layanan dasar kesehatan lingkungan ini
    4. Lakukan inventarisasi sumber daya yang masih tersedia, termasuk persediaan makanan yang tidak rusak, SDM, serta peralatan, materi, dan persediaan siap pakai
    5. Tentukan kebutuhan penduduk akan air, sanitasi dasar, perumahan dan makanan
    6. Penuhi kebutuhan fasilitas esensial secepat mungkin setelah kebutuhan konsumsi dasar manusia terpenuhi. RS dan fasilitas kesehatan lain mungkin membutuhkan peningkatan pasokan air jika jumlah korban bencana sangat banyak
    7. Pastikan bahwa pengungsi dan orang berpindah telah mendapat penampungan yang tepat dan bahwa penampungan sementara itu dan daerah berisiko tinggi lainnya memiliki layanan kesehatan lingkungan dasar
3.      Program Sanitasi Lingkungan
Tujuan utama program-program sanitasi dalam situasi bencana adalah untuk memberikan martabat bagi penduduk dan mengurangi risiko terkait terhadap penyakit-penyakit yang ditularkan melalui jalur tinja-mulut (fekal-oral). Sanitasi bukan hanya melulu jamban. Konstruksi saja tidak akan memecahkan semua permasalahan sanitasi. Pastikan bahwa  penduduk yang terkena dampak bencana memiliki informasi, pengetahuan dan pemahaman yang diperlukan untuk mencegah penyakit karena sanitasi yg buruk.
4.      Penampungan
Akomodasi jangka pendek tempat populasi yang terpengaruh dapat tinggal sampai bencana berlalu dan kembali ke rumah mereka sesegera mungkin. Oleh karena itu tidak dirancang untuk menyediakan layanan kebutuhan dasar bagi ratusan orang selama periode yang berkepanjangan.
5.      Persediaan Air
Survei terhadap semua persediaan air masyarakat harus dilaksanakan, dimulai pada sistem distribusi dan berlanjut pada sumber air. Sangat penting untuk menentukan keutuhan fisik komponen sistem, kapasitas yg tersisa, mutu bakteriologi serta kimia dari air yang disediakan.
Aspek keamanan umum yang utama dari mutu air adalah kontaminasi bakeri. Prioritas pertama untuk memastikan mutu air dalam situasi darurat adalah dengan metode klorinasi. Rekomendasi yang diberikan dalam aktivitas pemulihan adalah peningkatan kadar residu klorin dan peningkatan tekanan. Tekanan air yang rendah akan memperbesar kemungkinan masuknya polutan dalam pipa air. Pipa, reservoir, dan unit lainnya yang telah diperbaiki memerlukan pembersihan dan desinfeksi. Kadar minimum yang direkomendasikan dalam situasi darurat untuk kadar residu klorin bebas adalah 0,7 mg/l. Kontaminasi kimia dan toksisitas merupakan prioritas kedua dalam mutu air dan kontaminan kimia potensial harus diidentifikasi dan dianalisis.
Sumber air alternatif
Berdasarkan urutan pilihan yang umum, pertimbangan harus diberikan pada sumber air alternatif berikut
1)    air tanah dalam
2)    air tanah dangkal/mata air
3)    air hujan
4)    air permukaan
Sumber air yang ada dan yang baru memerlukan langkah-langkah perlindungan berikut:
    1. Batasi akses untuk manusia dan hewan
    2. Pastikan sumber pencemaran Jaraknya cukup aman dari sumber air
    3. Tetapkan larangan mandi, mencuci, dll di daerah hulu sebelum lokasi pengambilan sediaan air baik di sungai maupun anak sungai
    4. Perbaiki konstruksi sumur untuk memastikan keterlindungannya dari kontaminasi
    5. Estimasi volume maksimum air sumur
Dalam situasi darurat, air diangkut dengan truk ke daerah atau kamp yang terkena bencana. Semua truk harus menjalani inspeksi untuk memastikan kekuatannya dan harus dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan untuk mengangkut air.

6.      Keamanan Makanan
Higiene  yang buruk merupakan penyebab utama foodborne diseases dalam situasi bencana. Jika program pemberian makanan memang berlangsung di lokasi atau kamp penampungan, sanitasi dapur menjadi prioritas yang paling penting. Peralatan makan harus dicuci dalam air mendidih atau air bersih, higiene personal harus dipantau terutama terhadap mereka yang terlibat dalam penyiapan makanan. Penyimpanan makanan harus dapat mencegah kontaminasi.
7.      Sanitasi Dasar dan Higiene Personal
Banyak penyakit menular menyebar melalui air minum dan makanan yang terkontaminasi feses. Dengan demikian, harus dilakukan upaya untuk memastikan pembuangan ekskreta yang saniter. Jamban darurat harus disediakan bagi mereka yang dipindahkan, pengungsi, tenaga relawan, dan penduduk sekitar yang fasilitas toiletnya hancur.
Hygiene personal cenderung menurun setelah bencana alam, khususnya di daerah yang penduduknya padat dan tempat-tempat yang kekurangan air. Upaya-upaya berikut direkomendasikan:
    1. Menyediakan fasilitas dasar cuci tangan
    2. Menyediakan fasilitas MCK
    3. Memastikan ketersediaan air yang memadai
    4. Menghindari overcrowding di area tidur
    5. Menyelenggarakan promosi kesehatan
8.      Jamban
Pembuatan jamban dalam situasi darurat umumnya menggunakan terpal plastik. Dalam situasi keadaan darurat yang ekstrem, bisa jadi lokasi untuk buang air besar berupa lapangan. Dalam situasi-situasi yang lebih mapan, mestinya bisa dibangun jamban untuk keluarga. Ingat perempuan, anak-anak, penyandang cacat dan orang sakit memiliki kebutuhan yang berbeda dari laki-laki. Mungkin diperlukan jamban dengan desain khusus untuk mereka.
9.      Pengelolaan Limbah Padat
Pengelolaan limbah padat kerap menimbulkan satu masalah khusus dalam situasi darurat. Selama periode pascabencana masalah yang sering muncul adalah puing-puing bangunan, pohon, bangkai dan sampah lainnya. Pembersihan awal reruntuhan secara cepat sangat penting untuk upaya rehabilitasi. Pembuangan barang bekas dll yang saniter merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit bawaan vector. Pengumpulan sampah harus sesegera mungkin dilaksanakan kembali di daerah yang terserang bencana. Hindari pembuangan sampah di tempat terbuka. Cermati pembuangan limbah B3.


10.  Pengendalian Vektor
Program pengendalian untuk penyakit bawaan vektor harus digencarkan selama periode darurat dan rehabilitasi, khususnya di wilayah yang endemic. Prioritas dilakukan untuk daerah endemik leptospirosis, DBD, malaria, tifus, dan pes.
Berikut ini adalah langkah-langkah darurat penting untuk pengendalian vektor:
    1. Pulihkan aktivitas pengumpulan dan pembuangan sampah yang saniter sesegera mungkin
    2. Selenggarakan promosi kesehatan untuk memusnahkan tempat perkembangbiakan vektor dan tentang upaya untuk mencegah infeksi, termasuk hygiene personal
    3. Lakukan survei pada kamp dan wilayah berpenduduk padat untuk mengidentifikasi lokasi perkembangbiakan potensial nyamuk, hewan pengerat, dan vektor lainnya.
    4. Musnahkan tempat perkembangbiakan vektor dengan mengeringkan dan/atau menimbun kolam, empang, dan rawa-rawa, melakukan gerakan 3M, dll.
    5. Lakukan pengendalian kimia jika perlu
    6. Simpan makanan dalam tempat tertutup dan terlindung